INFO PENTING

Jumat, 15 Oktober 2010

'One Day No Rice', Kampanye Sehat untuk Kaum Menengah ke Bawah

Jumat, 15/10/2010 10:42 WIB
Wawancara Wakil Mentan
'One Day No Rice', Kampanye Sehat untuk Kaum Menengah ke Bawah
Suhendra - detikFinance
Jakarta - Hari pangan dunia akan dirayakan di seluruh dunia pada tanggal 16 Oktober 2010 besok. Di Indonesia, perayaannya akan dipusatkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat tanggal 19 Oktober 2010.

Di tengah berbagai masalah pangan, perhatian publik kini beralih ke kampanye sehari tanpa nasi atau bahasa kerennya 'One Day No Rice'. Pemerintah mengklaim slogan ini merupakan kampanye untuk menekan konsumsi beras masyarakat Indonesia yang tercatat paling gemar makan nasi.

Kampanye ini merupakan salah satu upaya merealisakan program diversifikasi atau penganekaragaman pangan yang selama ini selalu kandas di tengah jalan.

Sebenarnya apa yang melatar belakangi kemunculan kampanye ini? Apakah bisa masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi harus 'dipaksa' menguranginya? Lalu target-target apa yang ingin dicapai dari kampanye ini? Termasuk apa dampak pengurangan konsumsi beras bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani dan masyarakat secara umumnya khususnya lapisan masyarakat menengah-bawah sebagai pemakan nasi yang dominan?

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi memberikan penjelasannya melalui wawancara khusus dengan detikFinance di kantornya, Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta, Kamis (14/10/2010).

Apa yang melatarbelakangi kelahiran kampanye one day no rice?

Kalau dilihat dari konsumsi, konsumsi (pangan) orang Indonesia cukup baik, misalnya untuk ketentuan standar energi perhari itu 2000 kilokalori per orang per hari kita tahun 2008 itu sudah 2038 kilokalori per orang perhari. Termasuk juga untuk protein standar ketentuannya 52 gr per orang per hari, tahun 2008 sudah diatas itu 57,43 gr per orang per hari.

Tetapi kualitas konsumsi bukan hanya dilihat dari capaian itu, tetapi yang paling penting keragamannya. Kalau kita lihat dari keragamannya, misalnya beras yang tadinya porsi terhadap karbohidrat kita di tahun 1954 cuma 53,5%, tetapi tahun 2008 sudah 86,6% peranannya terhadap karbohidrat masyarakat Indonesia.

Porsi jagung untuk kebutuhan karbohidrat turun drastis, dari tahun 1954 yang mencapai 18,9%, pada tahun 2008 hanya 0,7%. Justru yang terlihat meningkat adalah terigu, pada tahun 1954 masih 0% pada waktu itu orang Indonesia belum makan terigu, tapi tahun 2008 sebesar 6,3%.

Disamping itu, konsumsi kita terhadap beras mungkin salah satu yang tertinggi di dunia mencapai 139,15 Kg per kapita per tahun. Jepang sekarang ternyata sudah 50 Kg per kapita per tahun, Malaysia 80 Kg per kapita per tahun, Thailand 70 Kg, rata-rata dunia 60 Kg per kapita per tahun. Jadi konsumsi beras kita relatif sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Sekarang kalau kita lihat dari konsumsi pangan lainnya justru kita yang relatif rendah misalnya daging kita hanya 11,9 Kg per kapita per tahun, Filipina saja 19 Kg per kapita per tahun, Thailand 23,3 Kg, Malaysia 43 Kg. Ini menunjukan dari kualitas dari konsumsi pangan masyarakat kita. Tapi memang sayuran kita masih cukup tinggi 49,7 Kg per kapita per tahun karena orang Indonesia suka lalapan, namun untuk konsumsi telur kita cuma 14,8 Kg per kapita per tahun, Malaysia 41,9 Kg per kapita per tahun.

Jadi kalau dilihat dari sini kualitas pangan kita menunjukan bahwa terlalu didominasi oleh karbohidrat, proteinnya masih kurang, walaupun dari sisi standar cukup. Kita ini kan bicaranya kualitas bukan hanya memenuhi standar.

Dengan kondisi itu, maka yang penting adalah penganekaragaman pangan kita. Kalau saya ambil contoh misalnya di Jepang punya sosiokultural yang bagus untuk penganekaragaman pangan, di Jepang itu harus setiap kali makan harus 23 jenis bahan sama seperti kita beli bento banyak macamnya. Di Indonesia, seperti nenek saya mengajarkan kalau setiap makan orang Jawa itu setiap makan setiap hari harus ada lima rasa pedes, pahit, manis, asin dan asam.

Itu merupakan panduan dalam penganekaragaman pangan dalam bentuk sederhana dalam budaya Jawa atau pada tahun 1970 kita mengatakan 4 sehat 5 sempurna, itu juga bentuk dalam penganekaragaman pangan. Sebenarnya esensi yang kita ingin capai adalah penganekaraman pangan.

One Day No Rice apakah bisa mengubah itu semua?

'One Day No Rice' hanya salah satu kegiatan saja, dari usaha menganekaragaman pangan. Jadi kalau kita mengurangi konsumsi nasi logikanya kita akan mengkonsumsi bahan pangan lain.

Kita coba hitung-hitungannya kalau seluruh Indonesia mengurangi makan nasi satu hari, maka 90.000 ton kita menghemat tak beli nasi sebanyak itu. Kalau 'one day no rice' satu hari satu bulan, lalu selama satu tahun maka kita tidak mengkonsumsi beras 1,1 juta ton.

Nilai dari 1,1 juta ton itu kurang lebih sebesar Rp 6 triliun, jadi kalau kita 'one day no rice', maka kita bisa mengurangi konsumsi nasi senilai Rp 6 triliun. Kalau Rp 6 triliun ini dibiarkan tentu akan hilang ekonomi petani. Kita berharap Rp 6 triliun ini bisa dibeli produk pangan lokal lainnya. Coba bayangkan kalau itu dibeli untuk beli sagu, suku, ubi jalar, ubi kayu, pisang, hotong dan lain-lain akan menciptakan ekonomi baru diluar beras terhadap komoditi-komoditi itu. Jadi petani kita yang diuntungkan.

Disatu sisi kita mengurangi tekanan permintaan beras sebagai penganekaragaman pangan tidak melulu pada beras. Kedua, kalau ini dialihkan pada pangan macam-macam lainnya itu akan menciptakan kegiatan ekonomi baru terhadap komoditi baru, yang selama ini didominasi oleh beras.

Misalnya yang beli sagu, orang yang berbisnis sagu dan bertani sagu naik ekonominya, petani singkong akan naik ekonominya.

Selain itu 1,1 juta ton beras (penghematan), jumlahnya banyak mengurangi permintaan tekanan beras. Sehingga stok di Bulog bisa meningkat karena tidak dikonsumsi masyarakat.

Jadi ada benefit-nya, tapi ini kan sifatnya imbauan. Dan satu catatan lainnya, kita berharap betul-betul bahwa 'one day no rice' itu bukan beralih ke gandum, bukan beralih ke terigu. Kenapa tidak sekaligus dibuat 'One Day No Rice No Wheat', jadi sehari tanpa beras tanpa produk gandum.

Jadi betul-betul masuk ke produk lokal seperti sagu, singkong dan lain-lain, atau meningkatkan konsumsi lainnya seperti telur, daging, sayur buah, susu dan lain-lain. Bayangkan itu Rp 6 triliun besar loh, itu uang masyarakat, jadi hanya pindah kamar. Justru yang kita harapkan adalah beralih ke produk pangan lokal jangan yang impor.

Masalahnya sekarang ini yang siap itu adalah produk-produk berbasis impor seperti terigu dengan mi instannya?

Ini sifatnya imbauan, dasar konteksnya adalah pada peningkatan kesadaran pemahaman kesadaran bukan kewajiban. Jadi kesadarannya satu paket, bukan hanya tidak makan nasi satu hari, tapi makanlah produk lokal. Harus kita sadarkan begitu, bukan beralih ke terigu. Kita disatu sisi mengurangi beras lebih sehat, juga lebih sehatnya membeli dari produk lokal.

Kalau tidak salah 'One Day No Rice' ini bukan barang baru, hampir satu tahun sudah berjalan?

Tidak, ini masih baru, dasar hukumnya yaitu Peraturan Presiden No 22 Tahun 2009 tentang penganekaragaman pangan konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis lokal.

Jadi memang baru berjalan, kampanye ini baru, kita baru coba bicarakan tapi media sudah memberi tanggapan. Sekarang ini memang kampanye ini belum ada launching dan belum ada apa-apa kan.

Memang sekarang ini sudah ada 20 pemda, yang sesuai perpres No 22 tahun 2009 (penganekaragaman pangan), tapi tidak langsung dengan 'One Day No Rice'. Ada satu daerah yaitu Nusa Tenggara Barat yang punya inisiatif kampanye untuk satu hari tanpa nasi. Dampaknya belum bisa lihat, itu pun mereka masih baru.

Kampanye ini nanti akan secara nasional, serempak seluruh Indonesia?

Tidak mesti serempak, bisa dilakukan masing-masing, kan orang muslim juga sudah ada puasa Senen dan Kamis, tapi buka puasanya jangan pakai beras dan gandum.

Masyarakat mencibir kalau kampanye ini sebagai bentuk ketidaksanggupan pemerintah dalam hal produksi beras?


Pertama yang saya tegaskan, bahwa yang menyiapkan padi itu bukan pemerintah loh, tapi petani. Petani yang memproduksi, pemerintah tidak pernah memproduksi, kita hanya membuat kebijakan, sehingga petani bisa memproduksi sebaik-baiknya. Jadi tak ada hubungannya dengan peningkatan produksi atau tidak, ini lebih pada supaya sehat. Supaya kita lebih sehat konsumsinya, yah kalau ada yang memandang negatif, ya terima kasih kritiknya.

Untuk memastikan kampanye ini efektif, pemerintah melakukan apa?

Kita akan terus kampanye, terus dibicarakan terus menerus, ke desa-desa, kepada para ibu-ibu. Kita cobalah, logikanya dari policy ini oke,' one day no rice' itu oke ada dasarnya kita melakukan itu. Bagaimana hasilnya akan kita lihat nanti.

Dari mana ide 'One Day No Rice'?

Saya tidak tahu, mungkin dari Badan Ketahanan Pangan, siapapun darimana idenya, tapi logikanya kena. Saya mau katakan bahwa dibalik nanti seremoninya (peluncuran pencanangannya), nanti bagaimana hasilnya, logika dibalik itu bagus, logikanya ada.

Tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, kampanye seperti ini berakhir tanpa hasil, lalu nanti mungkin 20 tahun lagi kita mengulangi hal yang sama?

Ya, nggak apa-apa kan, ya kita kampanye lagi, ya kampanye lagi. Lagian masyarakat Indonesia, negara Indonesia yang sangat independen. Orang Indonesia berpendapat, sangat sulit sekali dijaman sekarang ini melakukan sesuatu yang wajib. Jadi harus datang dari sebuah kesadaran, kuncinya harus dididik terus menerus. Misalnya kampanye budipekerti, bagaimana kampanye anti narkoba, kampanye anti HIV AIDS, sama semuanya itu adalah proses berkelanjutan untuk terus menyadarkan kita semua. Tapi basisnya kesadaran bukan disuruh oleh orang lain.

One Day No Rice ini sebenarnya menyisir kalangan masyarakat yang mana?


Memang penganekaragaman pangan itu berbading lurus dengan income, semakin tinggiincome-nya dia semakin beragam. Income dan kesadaran itu faktor penentu dalam upaya penganekaragaman. Saya bikin studi selama 40 tahun terakhir memang begitu. Kalau incomekita tidak bisa dirubah secara khusus, tetapi bisa ada usaha untuk meningkatkan kesadaran.

Keanekaragaman itu lucu kurvanya, pendapatannya rendah itu beragam dia makan apa saja, kalau pendapatannya naik, lebih ke konsumsi beras. Kemudian kalau pendapatannya naik lagi (kaya) dia akan beragam lagi. Jadi pada saat orang sangat miskin orang makan apa saja, apa yang dia punya, apa yang paling murah dia makan, kalau nggak ada beras ubi, atau apa saja.

Tetapi kalau dia sudah punya pendapatan tetap, ya kelas menengah itu lebih makan nasi. Kemudian kalau sudah semakin kaya semakin beragam. Ini hasil studi pengalaman 40 penganekaragaman pangan di Indonesia, ada bukunya salah satunya saya yang menulis.

Dari hasil ini logikanya kena sekali, jadi kalau orang miskin tak ada pilihan, makan apa saja, kalau pendapatannya yang cukup dia akan cari nasi. Memang nasi itu adalah makanan yang paling baik, per rupiah yang dikeluarkan. Sangat jarang yang memiliki komposisi (gizi) selain beras, selain gampang didapat dan mudah mengolahnya.

Beras memang the best selalu menjadi benchmark, kalau sudah masuk ke selera baru beragam. Kampanye ini lebih menyasar kelas menengah bawah, termasuk saya dan anda.

Parameter keberhasilannya apa dari kampanye ini apa?

Ya, bagaimana masyarakat lebih sehat dengan makanan yang beragam. Selain itu, targetnya skor pola pangan harapan (PPH) kita harapkan nanti tahun 2014 jadi 93, sekarang kira-kira 76. Nanti kita harapkan menjadi 93, jadi dia lebih beragam pangannya.

Target lainnya konsumsi beras turun 1,5% per tahun, kalau saya sih kalau bisa turun konsumsi per kapitanya per tahun 80 Kg sudah bagus. Misalnya kalau ada penurunan 20 Kg per kapita, sama sama 4,7 juta ton, atau Rp 23 triliun dalam 4-5 tahun kedepan. ampanye ini sangat erat kaitannya dengan income dan pendidikan.

Lebih penekanannya pada income dan edukasi, kalau kampanye ini lebih pada edukasi, sebab kalau income lewat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. (hen/qom)

Tidak ada komentar: